Pokok Pemikiran Filsafat Mulla Sadra Tentang Wujud
MullA Sadra (980-1050H atau 157 1-1641 M), yang nama lengkapnya Shadr al-Dîn al-Syirâzî dan dikenal juga dengan nama Shadr Al-Muta'allihin, merupakan filsuf terbesar Persia di zaman modern (Fakhry, 1986; McGreal (ed.), 1995).
la menulis banyak karya yang orisinal. Karya utamanya, yang tak pelak lagi merupakan karya besar, adalah Kitab Hikmat al-Muta'aliyah (Kebijaksanaan Transendental). Karya ini sangat monumental dan menghasilkan satu model filsafat baru dalam filsafat Islam khususnya dan filsafat pada umumnya.
Karya ini dapat digambarkan sebagai summa philosopie dari Mullâ Sadrå. Karya-karyanya yang lainnya yang terkenal adalah Penciptaan dalam Waktu (Huduts), Kebangkitan (al-Hasyr), tentang Pemberian Sifat Wujud kepada Esensi, tentang Kehendak Bebas, dan Kitab al-Masya'ir, serta Kitab Kasr Ashnam al-Jahiliya.
Mullâ Sadrå pada awalnya mengembangkan dan memberi koreksi pada sistem pemikiran filosofis Suhrawardi. Namun akhirnya seperti yang sudan disebutkan, ia mengembangkan model filsafat baru yaitu Hikmat al-Muta'aliyah.
Dalam pendahuluan Kitab Hikmat al-Muta'aliyah, ia mengomentari keadaan filsafat yang menyedihkan pada masanya. Ia meng gambarkan keengganan masyarakat awam untuk mempelajarinya. Setelah mengarahkan perhatiannya pada filsafat, ia menjadi yakin bahwa filsafat kuno yang dipertalikan dengan kebenaran wahyu merupakan ungkapan kebenaran yang paling tinggi. Mullâ Sadrâ mengangkat filsafat ke tempat yang tinggi dalam upaya pencapaian kebenaran manusia.
Pada awalnya ia sering menarik diri karena menganggap pikirannya terlalu rumit dan sulit dipahami oleh orang awam. la melakukan upaya kontemplasi diskursif dan intuitif dalam mencari kebenaran, sesuatu yang dianggapnya sulit untuk diajarkan.
Pada mulanya ia menganggap apa yang dipikirkannya tak dapat disampaikan dan hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu saja. Namun kemudian ia sadar bahwa kebenaran yang diperolehnya harus disampaikan kepada orang lain. la pun menuliskannya dalam karyanya Kitab Hikmat al-Muta'aliyah.
Bagi Mullâ Sadrâ, apa yang dipikirkan dan dihasilkannya dalam bentuk karya filsafat adalah anugerah Tuhan yang juga berhak diperoleh semua orang, setidak-tidaknya orang yang berusaha berpikir secara mendalam. Di sini terlihat bahwa baginya filsafat penting artinya bagi pengembangan pemahaman tentang kebenaran dalam agama Islam.
Dalam Kitab Hikmat al-Muta'aliyah, Mullà Sadrå menunjukkan konsepsi pembagian fisafat Avicennian dengan dua pembagian utama:
- Teoritis, mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya;
- Praktis, mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa.
Perwujudan yang pertama adalah usaha pencapaian tujuan akhir semua pengejaran teoritis, yakni menyalin atau mencerminkan dunia akali. Perwujudan yang kedua adalah mendekatkan diri kepada Tuhan melalui semacam imitatio Dei yang membuat jiwa berhak memperoleh suatu hak istimewa untuk memiliki sifat-sifat Tuhan dalam derajat yang lebih rendah. Di sini terlihat jelas pengaruh dari pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina (dalam perwujudan pertama).
Mulla Sadrà melanjutkan tradisi Suhrawardi dalam mengombinasikan kontemplasi dan penyelidikan menggunakan akal (diskursif dan intuitif) dan penyucian hati dengan iman. Dalam pemikiran Mullà Sadrâ jelas terlihat akar-akar filsafat Islam meskipun ia mengembangkan suatu model filsafat yang baru.
4 Pokok Pemikiran Filsafat Mulla Sadra tentang 'Wujud' (Being, 'Ada')
Persoalan utama yang digeluti oleh Mullà Sadrå adalah persoalan metafisika yang didasari oleh pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Persoalan esensi dan eksistensi Allah menjadi tema sentral dalam uraian filsafatnya. Persoalan ini sudah dikaji oleh para filsuf pendahulunya.
Beberapa aliran filsafat Islam yang berkembang sebelum Mulla Sadrå memiliki pandangan-pandangan yang satu sama lain memiliki perbedaan di sana-sini.
Aliran-aliran itu secara umum dapat dikelompokkan menjadi:
- Aliran Filsafat Paripatetik;
- Filsafat lluminasionis;
- Irfân (Mistisisme Islam);
- Kalâm (Teologi).
Karya-karya Mullà Sadrâ menampilkan orisinalitas yang tinggi. Persoalan-persoalan yang pernah dikaji oleh aliran-aliran filsafat Islam sebelumnya digarap oleh Sadrâ dengan metode dan pendekatan yang baru.
Memang ada beberapa kutipan dari karya-karya filsuf terdahulu, tetapi kutipan-kutipan itu hanya untuk menyusun karya-karya esiklopedik atau sebagai bahan perbandingan. Sementara penjelasan dan ulasan-ulasannya sepenuh nya didasarkan pada pemikirannya sendiri.
Pergelutan Mullà Sadrå dengan persoalan esensi dan eksistensi Allah melahirkan sebuah sistem filsafat yang tertata. Sadrâ menggunakan istilah Al-Hikmah Al Muta'aliyah (Filsafat Transendental) yang merupakan sinonim dari istilah 'Filsafat Tertinggi' sebagai lawan dari fisika dan matematika dalam klasifikasi tradisional (Muthahhari, terjemahan 2003:78).
Sejumlah asas dijadikan dasar dalam Filsafat Transendental Mullà Sadrå yang sekaligus memberikan ciri khas bagi sistem filsafatnya. Berikut ini beberapa pokok pemikiran Sadra tentang esensi dan eksistensi Tuhan dan keterkaitannya dengan esensi dan eksistensi makhluk-makhluknya.
1. Hakikat eksistensi sebagai sesuatu yang mendasar (ashâlah al-wujud)
Persoalan utama dalam topik ini berkisar pada perdebatan antara pandangan yang memandang esensi sebagai hakikat realitas sejati di satu sisi dan pandangan yang menegaskan eksistensi sebagai dasar realitas sejati di sisi lain.
Mullà Sadrà berada pada sisi yang memandang eksistensi sebagai realitas dasar. Eksistensi atau wujud adalah sesuatu yang mendasari keberadaan segala sesuatu. Realitas sejati adalah eksistensi bukan esensi.
2. Kemanunggalan wujud (wahdah al-wujad)
Perdebatan yang berkembang dalam topik ini adalah: Apakah realitas itu memiliki banyak wujud atau hanya satu wujud. Perdebatan ini yang mendasari perdebatan antara pluralisme dan monisme. Pluralisme memandang alam semesta beserta isinya berasal dan terdiri dari banyak unsur. Sedangkan monisme, memandang alam semesta serta isinya berasal dan terdiri dari satu unsur saja. Kenyataan bahwa satu wujud mencakup beragam tampilan realitas dan beragam realitas tercakup dalam satu wujud yang disebut dengan istilah kemanunggalan wujud (wahdah al-wujad).
3. Penuntasan masalah-masalah yang menyangkut eksistensi manusia (al-wujûd al-dzihni)
Persoalan eksistensi manusia difokuskan pada persoalan eksistensi mentalnya. Mullâ Sadrâ menyoroti persoalan ini dengan terlebih dahulu mengkaji paparan-paparan dari filsuf-filsuf pendahulunya. Dari kajian terhadap pemikiran para filsuf sebelumnya ditemukan berbagai pertentangan pandangan terhadap eksistensi mental manusia. Hingga masa Mullâ Sadrâ, pertentangan-pertentangan itu terus berlangsung.
Untuk menuntaskan rangkaian pertentangan itu, Mullà Sadrâ menggunakan kajian logika sebagai titik berangkatnya. la menyoroti satu pokok permasalahan dalam logika, yaitu tentang proposisi-proposisi kategoris pada logika tradisional yang menurutnya menyebabkan kerancuan dalam memahami eksistensi mental manusia. Penggolongan proposisi-proposisi kategoris itu mengarahkan pada penggolongan jenis predikasi menjadi predikasi esensial primer dan teknis umum.
Mullâ Sadrâ menunjukkan kesalahan predikasi itu dan menurutnya diperlukan tambahan asas kesatuan predikasi. Dengan tambahan asas itu ia memberikan sumbangan besar bagi logika sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan eksistensi mental yang masih menggantung pada pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya.
4. Kajian hakikat keniscayaan esensial Tuhan yang abadi dan sifat keserbamungkinan (imkân)
Untuk menunjukkan keniscayaan esensial Tuhan yang abadi dan sifat keserbamungkinan Nya, Mulla Sadrâ juga menggunakan logika sebagai alat penjelasannya. la menyoroti persoalan hubungan antara subjek dan predikat dalam setiap proposisi.
Dalam logika tradisional, secara umum hubungan antara subjek dan predikat dianggap hanya ditentukan oleh modalitas yang dikandung proposisi yang terdiri dari "niscaya", "mungkin", dan "mustahil/idak mungkin". Sementara Mullâ Sadrâ melihat pentingnya menentukan apakah proposisi itu berjenis proposisi sekunder atau tersier. Proposisi sekunder, atau disebut juga sebagai proposisi biner, adalah proposisi yang terdiri dari subjek sebagai kuiditas dan predikat sebagai eksistensi.
Contoh: "manusia adalah hewan rasional." Sedangkan proposisi tersier tersusun atas subjek sebagai kuiditas dan predikat sebagai salah satu aksidennya. Contoh: "manusia dapat membuat rumah."
Para filsuf pendahulu Mullà Sadra hanya memfokuskan pada proposisi-proposisi biner ketika menjelaskan hakikat Tuhan. Sedangkan proposisi tersier dianggap tidak dapat menjelaskan sifat-sifat Tuhan. Akibatnya penjelasan tentang Tuhan yang memiliki segala macam kemungkinan sulit dijelaskan secara logis.
Padahal dengan menggunakan juga proposisi tersier untuk menjelaskan Tuhan dapat diperoleh pemahaman yang lebih lengkap tentang Tuhan. Namun, penggunaan proposis ini tidak lengkap jika tidak disertai dengan pemahaman tentang dua jenis keniscayaan, yaitu "keniscayaan-esensial-abadi" dan "keniscayaan-esensial-sementara".
Keberadaan Tuhan adalah keniscayaan-esensial-abadi", oleh karenanya semua aksiden yang mungkin ada pada Tuhan adalah sebuah keniscayaan, hal-hal yang pasti adanya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Tuhan memiliki sifat keserbamungkinan. Semua kemungkinan pada Tuhan adalah keniscayaan. la niscaya memiliki kemungkinan yang tak terbatas dan dapat membuat semua kemungkinan itu jadi nyata. Mullâ Sadrâ menyebut keserbamungkinan ini sebagai 'keserbamungkinan eksistensial' untuk membedakan dengan aksiden pada makhluk Tuhan.
Kajian Filosofis Mulla Sadra
Merujuk pada Murtadha Muthahhari (terjemahan 2003:79-99) topik-topik berikut ini juga menjadi kajian filosofis Mullâ Sadrâ:
- Kajian tentang kriteria kebutuhan pada sebab.
- Telaah tentang hakikat kasualitas dan watak hubungan sebab-akibat; peneguhan hubungan akibat pada sebab sebagai hubungan iluminatif dan pengakuan adanya pengaruh kemaujudan (ontic) sebagai manifestasi realitas (tajalli wa tasyâ'un).
- Pengukuhan gerakan substansial (al-harakah al-jauhariyyah).
- Telaah tentang hubungan antara objek bergerak dan objek tak bergerak, asali, dan sementara.
- Pengukuhan kesatuan antara subjek (yang mengetahui) dan objek (yang diketahui).
- Bukti kesementaraan alam (hudûts).
- Pembuktian jenis ketunggalan yang dinamakan "kemanunggalan sejati yang nyata" (al-wahdah al-hagqah al-haqiqiyyah).
- Pembuktian bahwa benda yang terdiri dari materi (matte, hyle) dan bentuk (form, morphe) merupakan gabungan yang terjadi melalui penyatuan (al-tarkih al-ittihâdî atau unification)
- Bukti atas eksistensi Wujud Niscaya (the Necessary Being) yang disebut dengan Burhân al-Shiddiqin.
- Bukti khusus yang didasarkan pada Burhân al-Shiddiqin bagi keesaan Wujud Niscaya.
- Kajian mengenai masalah-masalah yang menyangkut pengetahuan Tuhan dan pandangan bahwa pengetahuan-Nya terhadap suatu objek bersifat sederhana dan tidak terkotak-kotak, tetapi pada saat yang sama bersikap menyingkapkan semua perincian yang meliputinya (kasyf tafshili).
- Kajian mengenai kaidah basîth al-haqiqah kullu al-asyya
- Penegasan bahwa jiwa bersifat jasmani pada mulanya (jismâniyyah a-hudats) dan bersifat rohani pada kelanjutannya (râhâniyyah al-baqa).
- Pengkajian mengenai penglihatan batin (bashîrah, vision) dan daya-daya pencerapan indrawi lain.
- Ciri nonmaterial daya imajinasi.
- Penegasan pandangan bahwa jiwa dalam ketunggalannya meliputi semua daya (al-nafs fi wahdatihâh kullu al-quwâ).
- Penegasan pandangan bahwa yang universal (kulli) terbentuk melalui sejenis sublimasi atau proses perubahan ke Arasy yang lebih tinggi (ta'ali) dan tidak semata-mata melalui abstraksi (tajrid wa intizhâ,).
- Bukti adanya kebangkitan fisik.