Apa Itu Hospitalitas?
Selamat datang di situs Blogger Toraja.
Mungkin kamu pernah mendengar istilah Hospitalitas, entah itu dalam ruang perkuliahan, acara seminar, diskusi-diskusi ilmiah atau bahkan kamu menemukan istilah ini dalam bacaan kamu? Lalu apa itu hospitalitas?
Di dalam Alkitab, Hospitalitas sering disebut sebagai suatu norma utama. Misalnya: Abraham di Kejadian 18 (penerimaan tamu malaikat), 2 Raja-raja 4 (perempuan Sunem menyediakan kamar atas untuk tamu), Matius 25:35 (orang yang memberi tumpangan kepada Kristus sebagai orang asing), dan masih banyak lagi. Jadi pada prinsipnya, tamu-tamu asing dan orang-orang yang melakukan perjalanan jauh patut diterima oleh orang Kristen.
Pada abad-abad pertengahan, hospitalitas terutama menjadi tugas biara-biara. Lihat regula Santo Benedictus dari Nursia (Italia), ditulis th. 540: supaya semua tamu diterima seolah Kristus sendiri (yang menurut Matius 25:35 menjadi orang asing). Lantas regula itu secara mendetail memberi petunjuk tentang cara tamu patut diperlakukan.
Dari tugas-tugas biara itu kemudian tumbuh hospital (RS), hospitium (tempat penginapan tamu) dan pada zaman modern di dunia Barat juga hospice (rumah dimana mereka yang menanti ajalnya bisa dirawat). Sekarang pelayanan hospitalitas di beberapa negara Barat secara khusus dilaksanakan lewat pusat atau perumahan gerejawi yang selama hari-hari kerja terbuka untuk pecandu, tunawisma, pengungsi, dan mereka yang kesepian.
Apa Itu Hospitalitas?
Dalam bahasa Yunani, hospitalitas diartikan sebagai philoxenia. Kata ini terdiri dari dua suku kata yakni, philos yang berarti kasih dan xenos yang berarti orang asing atau orang lain.
Sehingga secara etimologi, hospitalitas adalah kasih kepada orang asing, atau orang lain. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa hospitalitas berhubungan erat dengan kasih. Oleh karena itu hospitalitas harus berdasar atas belas kasih sehingga seseorang dapat memahami posisi atau lebih tepatnya memposisikan diri terhadap situasi individu yang lain bahkan dalam situasi sulit sekalipun.
Nouwen mengatakan "hospitality, therefore, means primarily the creation of free space where the stranger can enter and become a friend instead of an enemy. Hospitality is not to change people, but to offer them space where change can take place. It is not to bring men and women over to our side, but to offer freedom not disturbed by dividing lines." Dalam penerimaan seperti ini, hospitalitas tidak digunakan untuk mengubah individu melainkan menciptakan ruang dimana individu dapat berubah.
Dalam sejarah pemaknaannya, hospitalitas kemudian dimaknai sebagai keramahtamahan terhadap tamu, yang tidak hanya memperhatikan kebutuhan akomodasinya tetapi juga memenuhi kebutuhan perlindungan kepada tamu tersebut.
Dalam keramahtamahan ini menciptakan relasi antar individu atau antar kelompok sebagai ciri khas dari makhluk sosial yang saling membutuhkan. Seperti yang dikatan sebelumnya bahwa hospitalitas bersinggungan erat dengan kasih, hal ini sebenarnya merupakan manifestasi kasih Allah kepada dunia ini yang diimplementasikan melalui relasi antar manusia.
Walaupun dalam praktiknya hospitalitas memiliki resiko, keramahtamahan harus terus dimiliki oleh orang Kristen karena ketika hospitalitas Kristen terus dilakukan, usaha tersebut tidak akan sia- sia karena hospitalitas mampu mengubah kehidupan manusia di dunia ini.
Pandangan Alkitab tentang Hospitalitas
Diana Butler Bass mengatakan "Christians welcome strangers as we ourselves has been welcomed into God through the love of Jesus Christ. Through hospitality Christians imitate God's welcome." Pada hakekatnya hospitalitas menyajikan hubungan Allah dengan manusia sebagai hubungan tamu dengan tuan dan juga panggilan kepada manusia untuk menyampaikan peranan Allah sebagai tuan bagi umat manusia yang lain. Orang percaya dituntut untuk dapat menyambut orang asing sebagaimana mereka telah disambut oleh Allah melalui kasih Kristus.
Tamu adalah orang luar, orang asing seperti pelancong, atau buronan. Tamu akan diterima melalui beberapa upacara seperti pengurapan. Kewajiban utama tuan rumah adalah menyajikan makanan, penginapan dan perlindungan dari bahaya dan ketidaknyamanan, bahkan pada masalah biaya dengan semangat murah hati. Sebaliknya tamu wajib menerima dengan penuh syukur apa yang ditawarkan, menahan diri pada perilaku menuntut atau memaksa.
Hospitalitas dalam Perjanjian Lama (PL)
Tuhan sebagai tuan rumah (host) dan makhuk Tuhan sebagai tamu (guest) di alam semesta Tuhan. Tidak ada ayat yang mejelaskan secara rinci mengenai hubungan tuan rumah dan tamu selain daripada dalam Imamat 25:23 "tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku"
Ayat iní menjelaskan status keberadaan umat Israel, konteks dari teks iní berlaku pada tahun Yobel (Im.25) yang mewajibkan reformasi dilakukan setíap lima puluh tahun untuk memulihkan tanah bagi keluarga keluarga penerima tanah perjanjían.
Jika Tuhan adalah pemilik tanah, apakah manusia sebagai penghuninya? Dalam ayat iní dikatakan bahwa "aliens and tenants" (NRSV) sehingga dapat dikatakan bahwa mereka adalah tamu jangka panjang dan imigran.
Dengan demikian bangsa Israel dilarang untuk menjual tanah yang mereka tempati seolah-olah itu adalah komoditas yang mereka miliki serta tanah tersebut harus dibagi secara merata kepada semua yang tinggal disitu.
Dalam kitab Kejadian, Allah menawarkan tempat tinggal beserta isi didalamnya bagi makhluk hidup, mereka akan menjadi tamu ditempat tinggal milik Allah, namun seraya menikmati persediaan tuan rumah, manusia sebagai tamu harus memelihara dan peduli akan kepemilikan Allah yang ditawarkan tersebut termasuk mengenai larangan tentang pohon pengetahuan itu.
Hospitalitas yang ditawarkan Allah ini ditolak oleh manusia seperti yang diceritakan dalam Kejadian pasal 3. Manusia tidak mengindahkan batasan-batasannya sebagai tamu yang ditetapkan oleh pemilik tanah.
Keramahtamahan Allah iní berlanjut sampaí ketika Abraham akan menjadi orang asing di tanah yang dijanjíkan Allah. Allah sebagai tuan rumah memiliki persediaan bagí keluarga Abraham. Bahasa hospitalistasnya: Allah mengundang mereka untuk datang dan meniadi tamu Allah di ditanah yang akan diberikan kepada keturunan mereka.
Selanjutnya perjalanan bangsa Israel ke tanah Kanaan sudah didominasi dengan sikap penerimaan tamu, Allah memiliki persediaan berupa makanan, air dan perlindungan (Kel. 15-17). Bagian akhir dari kitab Keluaran juga menggambarkan penerimaan penuh Allah sebagai tuan (host) terhadap manusia sebagai tamu (guest) yakni tentang pembangunan tabernakel atau tempat suci dimana Allah menerima dan menampung bangsa Israel.
Ini adalah tempat dimana bangsa Israel dapat menerima Allah, tetapi lebih daripada itu, tempat dimana Alah mengundang bangsa Israel. Tabernakel merupakan lambang dari hospitalitas.
Hospitalitas dalam Perjanjian Baru
Sama seperti dalam Perjanjian Lama, dalam Perjanjian Baru Allah sumber dan pemilik semua hal yang baik serta tuan rumah yang sempurna. Yesus Kristus sebagai Putra Allah adalah tuan (host) yang menawarkan undangan Allah dan menyambut semua orang.
Dalam beberapa perumpaan yang disampaikan oleh Yesus Kristus, Kerajaan Allah diumpamakan sebagai pesta perjamuan (Mat.22:1-14; Luk.14:15-24), dalam Kerajaan Allah yang lapar akan dipuaskan (Luk.6:21). Pengajaran Kristus mengatakan bahwa Kerajaan Allah itu mengandung keterbukaan bagi semua orang seperti yang terlihat dalam salah satu mujizat Kristus dalam Injil Matius 14:13-21 tentang memberi makan lima ribu orang.
Selain sebagai tuan rumah, Yesus Kristus juga sebagai tamu (guest). Dia sebagai Putra Allah merupakan Manusia seutuhnya yang tidak dapat dipahami selain dari perannya sebagai tamu (guest). Putra Daud tidak mendapat tempat di kampung halamannya sendiri (Luk.2:1-7); "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya" (Mat. 8:20; Luk. 9:58); la kembali ke tempat dimana la dibesarkan tetapi orang banyak menolakNya (Luk.4:16-30; Yoh.1:11); la berlindung kepada orang- orang yang mau menampung Dia, dan perempuan- perempuan melayaniNya (Mat. 27:55); untuk memberi makan lima ribu orang, la menerima roti dan ikan dari seorang anak kecil (mar.6:38-41); perjamuan terakhir diadakan disebuah ruangan yang dipinjam (Mar.14:13-16); bahkan mayat Yesus Kristus menjadi tuan rumah di kuburan milik Yusuf dari arimatea (Mar. 15:42-46).
Status musafir ini terus berlanjut melalui para murid atau utusan Allah yang diceritakan dalam kitab Kisah Para Rasul dan beberapa kitab lainnya seperti Tbrani 11:38-40, 1 Petrus 2:11 dan 3 Yohanes 5-8. Namun pada akhirnya, perumpamaan tentang penghakiman terakhir menggambarkan Kristus sebagai raja yang memisahkan domba dari kambing atau dasar hospitalitas yang ditawarkan (Mat. 25:31-46).
Aspek Hospitalitas Kristen
Cathy Ross mengatakan bahwa hospitalitas merupakan praktek dalam berinteraksi dengan orang lain, sehingga menurut Ross ada empat aspek dari hospitalitas tersebut, yaitu:
1. Perhatian (attentiveness)
Hospitalitas memberikan perhatian, karena hal ini merupakan bagian dari hidup yang sifatnya saling membutuhkan. Rasul Paulus mengatakan bahwa saling membutuhkan merupakan bagian dari sikap anggota tubuh Kristus. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup saling membutuhkan, sehingga perlu untuk menciptakan ruang untuk memperhatikan dalam bentuk mendengarkan dan mempelajari kehidupan orang lain.
2. Kehadiran (presence)
Aspek kedua dari hospitalitas yaitu kehadiran. Kehadiran dalam hospitalitas menuntut sebuah kesetiaan yang diwujudkan dengan setia hadir dan penuh perhatian kepada orang lain. Kehadiran dapat dipraktekkan secara lebih sempurnah dalam bentuk komunitas.
3. Marjinalitas (marginality)
Pelaku hospitalitas dengan kehadiran penuh perhatian akan diarahkan kepada orang pinggiran, orang- orang luar, anak-anak kecil dan kepada orang- orang miskin. Kehadiran dan perhatian dibutuhkan oleh orang- orang yang mengalami kesusahan dan penderitaan yang juga menjadi perhatian Allah melalui kehadiran Yesus Kristus. Hospitalitas memperlihatkan pentingnya belas kásih oleh karena itu, hospitalitas mendapat tempat yang baik dalam situasi penderitaan.
4. Keluasan (spaciousness)
Keluasan yang dimaksudkan oleh Ross ialah penciptaan ruang. Ruang menjadi kebutuhan yang perlu untuk diciptakan untuk orang lain dimana didalamnya dapat berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam proses interaksi tersebut individu akan saling mempelajari dan memahami.
Catatan Kaki:
- Yohanes K. Susanta, "Hospitalitas Sebagai Upaya Mencegah Kekerasan dalam Memelihara Kerukunan dalam Relasi Islam - Kristen di Indonesia,"Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat 2, no. 1 (October 24, 2007).
- Gunawan Yuli Agung Suprabowo, "Memaknai Hospitalitas di Era New Normal: Sebuah Tinjauan Teologis Lukas 10:25-37," Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen 5, no. 1 (n.d).
- Daniel Fajar Panuntun and Eunike Paramita, "Hospitalitas Kristen dan Tantangannya Ditengah Pandemi Covid 19," Jurnal Multikultural & Multireligius 19, no. 1 (2020)
- Novisius Bivarelly, "Rumahku, Rumahmu, Rumah Kita Bersama: Memaknai Hospitalitas dalam Relasi Islam-Kristen di Kota Palu" (Universitas Kristen Duta Wacana: Yogyakarta, 2020)
- "Kamu Gereja & Teologi Kristen" (BPK Gunung Mulya: Jakarta: 2021)