Pengertian dan Sejarah Hermeneutika
Selamat datang di situs Blogger Toraja.
Hermeneutik adalah salah satu ilmu Teologi yang bersubstansi pada pokok penafsiran isi Alkitab (Firman Tuhan). Oleh karena itu untuk memperoleh hasil tafsiran Firman Tuhan yang baik, seorang penafsir harus mengenali dan mengerti pentingnya ilmu Hermeneutik.
Firman Tuhan yang ditafsirkan dengan baik, pada akhirnya akan memberikan hasil pengajaran yang baik bagi umat Tuhan. Dalam hal ini, umat Tuhan dapat mendengarkan, melakukan, dan dapat mengerti hal yang pokok dari penyampaian berita (kerugma) khotbah.
Pemberitaan Firman Tuhan berdasarkan penafsiran yang baik akan menolong umat Tuhan mengalami perubahan hidup ke arah kedewasaan iman dalam Kristus Yesus.
Sebelum lebih jauh menafsirkan Alkitab, ada baiknya kamu mengetahui terlebih dahulu dasar-dasar Hermeneutik yang meliputi pengertian Hermeneutika dan sejarah hermeneutika.
Apa Itu Hermeneutika?
Secara etimologi kata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yakni hermeneutikos. Kata ini dibentuk dari kata hermeneuo yang memiliki arti menafsir (to interprete). Kata benda yang dipakai adalah hermeneia, artinya tafsiran (interpretation).
Kata ini diambil dari kata Hermes, yaitu nama dewa Yunani yang tugasnya membawa berita-berita dari dewa-dewa kepada manusia.
Hermeneutik dalam bahasa Ibrani adalah pathar, artinya menafsir. Kata bendanya adalah pithron, artinya tafsiran. Kata ini paling umum dipakai dalam konotasi menafsirkan mimpi, karena mimpi berwujud simbol yang artinya tidak jelas.
Pengertian Hermeneutik
Mengenai defenisi Hermeneutika, kita memperoleh beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Defenisi Secara Alkitabiah
Pada hakikatnya hermeneutika didefinisikan sebagai studi tentang lokus dan prinsip-prinsip penafsiran, terutama dalam memahami naskah-naskah purba. Pengertian bermeneutik di atas diperoleh dari arti yang terkandung dalam istilah "hermeneutika" yang berasal dari kataa Yunani "bermeneuein", yang berarti "menafsirkan" atau "menerjemahkan".
Kata kerja ini terkait dengan nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang bertugas menafsirkan kehendak dewata, karena itu bermeneutika sering diartikan sebagai "ilmu tafsir".
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menetapkan prinsip-prinsip, aturan-aturan dan patokan, yang menolong untuk mengerti atau mengartikan suatu karya atau dokumen, terutama dokumen purba.
Dengan pertolongan prinsip-prinsip, aturan, dan patokan yang ditetapkan tersebut akan menghasilkan tafsiran atas suatu karya atau naskah, terutama naskah purba. Penerapan prinsip-prinsip hermeneutis untuk memahami teks-teks purba, termasuk Alkitab, disebut "eksegese". Kata ini berasal dari kata Yunani 'ekes-egesthai' yang berarti "mengeluarkan" atau 'menerangkan'.
Meskipun kata dimaksud diterapkan untuk mengartikan suatu karya profan, bermeneutika terutama dikembangkan sehubungan dengan penafsiran teks teks Alkitab.
Berdasar pada pemahaman di atas, 'Hermeneutika Alkitabiah' dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip, aturan dan patokan, yang menolong untuk mengerti pesan dan maksud se sungguhnya yang disampaikan oleh teks-teks Alkitab.
2. Secara Umum
Secara umum, hermeneutic' dimengerti sebagai ilmu umum tentang linguistik; atau peraturan peraturan yang dipergunakan untuk mencari arti sesungguhnya atau menafsir/menjelaskan suatu pengertian yang tidak jelas artinya.
3. Secara Kristen
Secara Kristen, ermeneutik adalah bagian dari llmu Teologia Biblika yang dalam perkembangannya memiliki tiga pengertian, antara lain:
- ilmu yang mempelajari teori-teori, prinsip-prinsip, (aturan-aturan), dan metode-metode penafsiran Alkitab.
- Seni yang menguji kemampuan untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip penafsiran Alkitab.
- Ilmu yang mempelajari keseluruhan proses penafsiran (konsep keseluruhan dari tugas penafsiran), terutama dalam dimensi spiritual bagi kepentingan pertumbuhan rohani penafsir.
Sejarah Hermeneutika
Hermeneutik memiliki sejarah perkembangan yang cukup panjang, dimulai dari Hermeneutik Yahudi sampai Hermeneutik modern seperti sekarang ini. Berikut rentetan sejarah hermeneutik dari masa ke masa.
1. Hermeneutik Yahudi
Sejarah Hermeneutik Yahudi sudah dimulai sejak zaman Ezra (457 SM) pada waktu orang-orang Yahudi sedang berada di tanah pembuangan. Pusat ibadah orang Yahudi pada waktu itu adalah Yerusalem, mereka beribadah dengan mempersembahkan kurban di Bait Suci. Namun, di tanah pembuangan mereka tidak mungkin beribadah ke Yerusalem. Mereka menciptakan pusat ibadah baru, yaitu dengan menggiatkan kembali pengajaran dari Kitab- kitab Taurat.
Pengajaran Taurat itu menjadi sumber penghiburan dan kekuatan yang sangat berharga untuk mempertahankan diri dari pengaruh kafir di tanah pembuangan.
Usaha pertama yang dilakukan oleh Ezra dan para imam adalah menghilangkan gap bahasa yaitu dengan menerjemahkan Kitab-kitab Taurat itu dalam bahasa Aram, karena orang-orang Yahudi di pembuangan tidak lagi bisa berbahasa Ibrani. Usaha terjemahan ini dibarengi dengan eksposisi karena mereka juga harus menjelaskan isi kitab-kitab yang sudah mereka terjemahkan itu.
Terjemahan itu secara khusus tentang pelaksanaan hukum-hukum Taurat. Karena sumbangannya yang besar itulah Ezra disebut sebagai Bapak Hermeneutik Pertama. Untuk menunjang pemulihan kembali pengajaran kitab-kitab Taurat, didirikanlah sinagoge di tanah pembuangan untuk menggantikan tempat ibadah Bait Suci (Yerusalem).
Fungsi utama sinagoge adalah sebagai tempat orang-orang Yahudi berkumpul menaikkan doa-doa, membaca Taurat, dan mempelajarinya dengan teliti, juga sekaligus menjadi tempat mereka memelihara tradisi Yahudi dan melakukan kegiatan sosial lainnya. Sinagoge Agung adalah kelompok para ahli-ahli kitab zaman itu yang terdiri dari 120 anggota. Sinagoge dibentuk oleh Ezra sepulangnya mereka ke Palestina. Tugas utama kelompok ini adalah menafsirkan kitab-kitab Taurat, karena itulah bisa dikatakan inilah sekolah menafsir yang pertama didirikan.
Pada waktu orang Yahudi semakin banyak, akhirnya mereka diizinkan pulang kembali ke tanah Palestina. Tradisi mempelajari Taurat dan memelihara tradisi Yahudi ini tetap dibawa ke tanah air mereka. Sinagoge lokal pun mulai didirikan di tempat-tempat mereka tinggal (meskipun Bait Suci sudah dibangun kembali). Itu sebabnya, pada zaman Tuhan Yesus dan rasul-rasul kita menjumpai banyak sinagoge di kota-kota di Israel, yang dipimpin oleh seorang yang disebut "kepala rumah ibadah.
Melihat pentingnya mempelajari kitab-kitab, maka dalam perkembangan selanjutnya, (setelah Ezra dan Nehemia mati), bermunculanlah sekolah-sekolah menafsir formal, di antaranya:
a. Sekolah Yahudi Palestina
Sekolah ini mengikuti tradisi yang dipakai oleh Ezra dalam menafsir kitab-kitab Taurat, yaitu menekankan metode penafsiran literal. Mereka menerima otoritas mutlak firman Allah, dan tujuan utama mereka adalah menginterpretasikan hukum Taurat. Hasil penafsiran mereka ini kemudian bercampur dengan tradisi-tradisi yang berlaku pada zaman itu, sehingga tulisan ini pada kemudian hari dikenal dengan nama "Tradisi Lisan" (the Oral Lau). Namun, sayang sekali bahwa tradisi lisan ini akhirnya diberikan otoritas yang sejajar dengan tulisan Kitab-kitab Taurat.
Pada abad 2 Masehi dikumpulkanlah seluruh Tradisi Lisan yang pernah ditulis yang disebut "Mishna' yang artinya "doktrin lisan dan pengajarannya". Dalam Misbna ini terdapat dua macam tafsiran, antara lain:
- Halakah. Penafsiran (eksegesis) resmi terhadap hukum-hukum dalam kitab-kitab Taurat yang bersifat sangat legalistik, dengan memerhatikan sampai ke titik dan komanya.
- Hagadah. Penafsiran Alkitab PL yang tidak berhubungan langsung dengan hukum, yang tujuannya adalah untuk kesalehan kehidupan beragama. Perkembangan selanjutnya adalah para ahli kitab membuat buku tafsiran dari buku Mishna, yang disebut Gemara. Kedua buku Mishna dan Gemara, inilah yang akhirnya membentuk buku (kitab) Talmud.
b. Sekolah Yahudi Aleksandria
Sekolah ini didirikan oleh kelompok masyarakat Yahudi yang sudah tercampür dengan budaya dan pikiran Yunani (kaum Hellenis). Kerinduan mereka yang paling utáma adalah menerjemahkan kitab-kitab PL dalam bahasa Yunani Modern, sebagai hasilnya adalah buku (kitab) Septuaginta.
Penambahan kitab-kitab Apokrifa dalam Septuaginta menunjukkan bahwa mereka menerima penafsiran Hagadah dari sekolah Yahudi Palestina. Namun, karena pengaruh yang besar dari filsafat Yunani, orang Yahudi mengalami kesulitan dalam menerapkan cara hidup sesuai dengan pengajaran Taurat. Sebagai jalan keluar muncullah cara interpretasi alegoris yang dipakai untuk menjadi jembatan kedua cara hidup yang bertentangan itu.
Aristobulus (160 SM) dikenal sebagai penulis Yahudi yang pertama menggunakan metode alegoris, la menyimpulkan bahwa filsafat Yunani dapat ditemukan dalam kitab-kitabTaurat melalui penafsiran alegoris.
Philo (20-54 M) adalah penafsir Yahudi di Aleksandria yang paling terkenal. Menurut prinsip menafsir yang dipakai oleh Philo, penafsiran literal adalah untuk orang-orang yang, belum dewasa karena hanya melihat sebatas huruf-hurut yang kelihatan (tubuh); sedangkan penafsiran alegoris, adalah untuk mereka yang sudah dewasa, karena sanggup melihat arti yang tersembunyi dari jiwa yang paling dalam (jiwa).
c. Sekolah Kaum Karait
Kelompok dari sebuah sekte Yahudi ini nenolak otoritas buku-buku tradisi lisan dan juga metode penatsiran Hagadah Mereka lebih cendenung mengikuti metode penafsiran literal, kecuali bila sifat dari kalimatnya tidak memungkinkan ditafsirkan secara literal. Sebagai akibatnya mereka menolak dengan tegas metode penafsiran alegoris. Selain sekolah-sekolah di atas, ada juga sekolah-sekolah lain yang kurang dikenal, yaitu Kabalis, Yahudi Spanyol, Yahudi Perancis, Yahudi Modern.
2. Hermeneutik Apostolik
Masa ini mencakup masa periode ketika Yesus masih hidup sampai zaman rasul-rasul. Metode yang dipahami adalah metode penafsiran literal. Dengan inspirasi dari Roh Kudus, para penulis Perjanjian Baru telah menafsirkan Perjanjian Lama dengan tanpa salah dalam rulisan-tulisan mereka.
a. Yesus Kristus, Penafsir Sempurna
Dalam pengajaran kepada murid-murid-Nya, Yesus banyak memberikan penafsiran kitab-kitab PL. Dengan cara deuikian Yesus telah membuka pikiran murid-murid-Nya untuk mengerti firman Tuhan dengan benar. Dia sendiri adalah Firman yang menjadi Manusia (inkarnasi), yang menjadi jembatan yang menghubungkan antara pikiran Allah dan pikiran manusia.
Banyak catatan tentang teguran Yesus terhadap penafsiran para ahli Taurat (mis: Mat. 15:1-9; Mrk. 7:1-7; Mat. 23:1-33; Mat. 22:29). Contoh penafsiran yang dilakukan oleh Tuhan Yesus: Matius 10:5,6; 12:1-4,15-21; 13:19; 18:23; 19:3-9; 21:42-44; 22:41-46; 24:36-39; Lukas 11:29,30; 21:20-24; 24:27-44.
b. Para Rasul dan Penulis-penulis Mendapatkan Inspirasi dari Allah.
Mereka adalah contoh penulis-penulis Alkitab PB yang menafsirkan kitab-kitab PL dengan inspirasi yang Allah berikan kepada mereka, sehingga mereka menafsirkan tanpa salah. Mereka menolak prinsip-prinsip alegoris, atau tambahan-tambahan dari tradisi-tradisi dan dongeng-dongeng Yahudi.
Mereka juga menolak filsafat Yunani yang mengambil alih kebenaran. Yesus dan para penulis kitab-kitab PB telah menggunakan cara interpretasi yang benar. Ini menjadi contoh yang sangat berguna bagi para penafsir untuk belajar menafsir dengan benar.
3. Hermeneutik Bapa-bapa Gereja
Perkembangan prinsip-prinsip hermeneutika dalam periode Bapa-bapa gereja berhubungan erat dengan tiga pusat kehidupan gereja waktu itu.
a. Aliran Aleksandria
Pada awal abad III, penafsiran Alkitab sangat dipengaruhi oleh sekolah katekhetis Aleksandria. Di kota ini terjadi pertemuan antara agama Yahudi dengan filsafat Yunani, yang satu sama lain saling memengaruhi. Pada masa ini, filsafat Platonisme dalam bentuk Neo-Platonisme dan Gnostikisme masih hidup subur. Jadi, tidak mengherankan jika sekolah katekisasi yang terkenal di sana sangat dipengaruhi oleh filsafat populer ini.
Tokoh terkenal dari Aleksandria adalah Clemens dan Origenes, muridnya. Mereka menganggap Alkitab sebagai firman Allah dalam pengertian yang paling ketat. Mereka sangat menekankan teks harfiah Alkitab dan berpendapat bahwa untuk memperoleh pengetahuan Alkitab yang sebenarnya, sistem penafsiran alegoris adalah metode yang paling tepat digunakan.
Clemens Aleksandria adalah orang pertama yang menerapkan metode alegoris untuk menafsirkan PB, sebagaimana ia juga mene rapkannya untuk PL. Ia berpegang pada prinsip bahwa seluruh Kitab Suci harus dipahami secara alegoris. Menurutnya, arti harfiah Alkitab hanya dapat melengkapi iman elementer, sedangkan makna alegoris akan menuntun pada pengetahuan yang sesungguhnya.
Origenes, murid Clemens, dapat disebut sebagai teolog besar pada zamannya. Prinsip dasar teori penafsirannya adalah bahwa makna yang diberikan Roh Kudus selalu sederhana dan jelas serta pantas bagi Allah. Semua yang tampak gelap, amoral, dan mustahil hanyalah pendorong untuk mencari makna yang lebih tinggi di luar makna harfiahnya.
la menganggap Alkitab sebagai alat keselamatan manusia, dan karena manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh, maka seperti itu pula, Alkitab harus dipahami dari makna harfiah, moral dan mistis atau alegorisnya.
Pemikiran Origenes terbentuk selama paruh pertama abad II, di tengah berkembangnya sinkretisme keagamaan. Sistem hermeneutiknya didasarkan pada paling tidak empat prinsip, yaitu bahwa Alkitab itu:
- Diilhamkan oleh Allah;
- Satu-kesatuan;
- Diberikan untuk maksud yang pasti;
- Harus dipahami secara alegoris.
Origenes setia pada tradisi gerejawi yang menandaskan bahwa Alkitab itu diilhamkan oleh Allah, bukan hanya susunan manusia. Meskipun ia mempertanyakan kanonisitas beberapa kitab PB dan menilai tinggi kitab-kitab yang lain, pada dasarnya ia berpegang pada pendapat bahwa seluruh kitab dalam Alkitab dilhamkan oleh Allah, karena itu tidak mungkin mengandung kesalahan.
Pendapatnya adalah Alkitab merupakan kesatuan untuk menentang Marcion yang merendahkan nilai PL dan menentang orang-orang Yahudi yang menganggap orang Kristen tidak menghargai PL. Baginya, PL dan PB adalah satu-kesatuan yang bernilai setara.
Dalam PL, kebenaran Allah masih tersembunyi dan baru menjadi jelas setelah diterangi PB. Keduanya harus dipahami secara alegoris. Origenes berpendapat bahwa Alkitab tidak mungkin memuat hal yang tidak pantas bagi Allah, karena itu, semua pesannya harus diterima.
Maksud Alkitab adalah mengomunikasikan kebenaran ilahi. Maksud pertama pemberian Alkitab adalah sebagai pengajaran tentang hakikat manusia, hakikat Allah, hakikat dunia, dosa, dan penebusan.
Maksud kedua adalah mengajarkan kebenaran yang lebih tinggi. Kebenaran tertinggi hanya dimengerti oleh mereka yang tidak hanya memahami teks yang diilhamkan itu, melainkan mencari makna simbolik di balik teks harfiah itu. Karena itu Alkitab harus dipelajari, baik secara harfiah, maupun secara alegoris
Menurut Origenes, Alkitab sangat bermanfaat, baik dalam memberikan makna langsung, maupun sebagai simbol kebenaran yang lebih tinggi. Alkitab memiliki makna batin yang hanya sebagian dinyatakan dalam arti harfiah. Namun, dalam pengajaran eksplisit itu terkandung pula kebenaran yang lebih tinggi secara implisit.
b. Aliran Antiokhia
Aliran ini didirikan oleh Dorotheus dan Lucius menjelang akhir abad III. Pada mulanya, Dorotheus adalah penatua Antiokhia, dan pada 378 menjadi uskup di Tarsus. Dua orang muridnya yang terkenal adalah Theodorus dari Mopsuestia dan Yohanes Chrisostomus. Pandangan kedua orang ini sangat berbeda dalam banyak hal.
Theodorus Mopsuestia memiliki pandangan yang lebih liberal mengenai Alkitab, sedangkan Chrisostomus tetap berpegang pada pendapat bahwa Alkitab adalah fiman Allah yang tidak dapat salah. Penafsiran Theodonus lebih bersifat intelektuaistis dan dogmatis, sedangkan penafsiran Chrisostomus lebih bersifat spiritual dan praktis. Theodorus lebih terbuka untuk melihat faktor manusiawi dalam Alkitab, tetapi ia menolak bahwa Kitab Suci adalah ilham ilahi. la menolak metode penafsiran alegoris dan mempertahankan penafsiran gramatikal-historis.
c. Penafsiran Tipe Barat
Tokoh-tokoh penafsir Barat yang terkenal adalah Ambrosius, Hilary, Yerome, dan Augustinus. Penafsiran Yerome lebih didasarkan pada terjemahan Vulgata, sekalipun ia akrab dengan bahasa Ibrani dan Yunani. Karyanya terdiri dari catatan-catatan linguistik, historis, dan arkheologis.
Agustinus lebih menguasai bahasa asli Alkitab daripada Yerome. Namun, ia bukan seorang penafsir Alkitab, melainkan seorang sistematikus yang berusaha menyistematisasi kebenaran-kebenaran alkitabiah.
Agustinus berpegang pada prinsip hermeneutika, bahwa seorang penafsir harus memahami Alkitab secara filologis (berkenaan dengan budaya dan sastra), kritis dan historis, serta kita harus mengenal penulis masing-masing kitab dalam Alkitab. la menekankan makna harfiah teks-teks Alkitab sebagai dasar penafsiran alegorisnya. Namun, penafsiran alegorisnya lebih bebas, jika makna teks tersebut agak meragukan, ia mendasarkan pendapatnya pada iman gereja. Sayang sekali bahwa Agustinus masih berpegang pada patokan: historis, aetiologis (berkenaan dengan sebab musabab), ontologis, dan alegoris.
4. Hermeneutik Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan banyak orang, bahkan juga para pejabat gereja, tidak tahu tentang Alkitab. Kalaupun tahu, mereka hanya tahu Alkitab terjemahan Vulgata dan tulisan Bapa-bapa Gereja. Alkitab dianggap sebagai kitab yang penuh misteri yang hanya dapat diketahui dengan cara mistis. Pada waktu itu metode penafsiran yang diterima adalah penafsiran secara harfiah, tropologis (kias), alegoris, dan analogis.
Pedoman dalam pemahaman Alkitab adalah tradisi dan doktrin gereja. Semboyannya adalah pelajari dulu apa yang harus diimani, baru kemudian dicocokkan dengan Alkitab dan menemukan hal yang dimani tersebut.
Masa periode 600-1517 disebut sebagai Hermeneutik Abad Pertengahan, yang diakhiri sebelum masa Reformasi. Masa ini dikenal sebagai abad gelap karena tidak banyak pembaharuan yang terjadi, hanya melanjutkan tradisi yang sudah dipegang erat oleh gereja. Semua penafsiran disinkronkan dengan tradisi gereja. Pengajaran dan hasil eksposisi Bapa-bapa Gereja menjadi otoritas gereja. Alkitab hanya dipergunakan sebagai pengesahan akan apa yang dikatakan oleh para Bapak gereja, bahkan penafsiran para Bapa gereja kadang mempunyai otoritas yang lebih tinggi daripada Alkitab.
Alkitab lama-kelamaan dianggap sebagai benda misterius yang banyak berisi pengajaran-pengajaran yang takhayul. Itu sebabnya, cara penafsiran alegoris menjadi paling dominan.
Dua tokoh penafsir literal yang dikenal pada masa ini adalah:
a. Thomas Aquinas
Thomas Aquinasmenyetujuipenafsiran literal, tetapi dalam praktik ia banyak menggunakan penafsiran alegoris. Dalam masalah teologi ia percaya bahwa Alkitab memegang otoritas tertinggi.
b. Jobn Wycliffe
la sering disebut sebagai "Bintang Fajar Reformasi" karena kegigihannya menyerang pendapat bahwa otoritas gereja tidak lebih tinggi daripada otoritas Alkitab. Karena keyakinannya itulah ia terdorong untuk menerjemahkan Alkitab dalam bahasa-bahasa yang dikenal umum, sehingga setiap orang bisa membaca dan menyelidiki sendiri pengajaran Alkitab.
Menjelang berakhirnya Abad pertengahan terjadi kebangunan dalam minat belajar, khususnya belajar bahasa kuno. Hal ini didukung dengan ditemukannya mesin cetak kertas, dan dicetaknya Alkitab, maka kepercayaan takhayul terhadap Alkitab perlahan-lahan lenyap dan mereka mulai memercayai bahwa otoritas Alkitab lebih tinggi dari pada otoritas gereja. Inilah yang membuka jalan untuk lahirnya Reformasi.
5. Hermeneutik Periode Reformasi
a. Martin Luther
Martin Luther mendekati Alkitab dari tiga sudut pandang:
- Asumsinya tentang hakikat Alkitab,
- Presuposisi yang menuntun interpretasinya terhadap Alkitab,
- Penekanan pada pentingnya iman dalam menafsirkan Alkitab.
Bagi Luther, Alkitab adalah kitab autoritatif, karena itu semboyannya adalah sola scriptura. la menekankan perbedaan antara kemurnian kesaksian firman Allah dalam Alkitab dengan tradisi gereja. Luther memandang bahwa pada waktu itu tradisi gereja sudah menggantikan Alkitab.
Luther menganggap Alkitab sebagai buku yang dilhamkan. la tidak pernah menyembah Alkitab. Ia memperlakukan Alkitab secara bebas, berdebat dengan Paulus dan Yohanes serta mempertanyakan kanonisitas beberapa kitab PB seperti Yakobus, Yudas, dan Wahyu.
Luther meragukan bahwa Salomo adalah penulis Amsal dan menganggap Kitab Raja-raja seratus kali lebih baik daripada Kitab Imamat. Bagi Luther, yang menyebabkan Alkitab itu autoritatif adalah pesannya tentang Kristus.
Alkitab adalah kitab Kristosentris, karena pada hakikatnya Alkitab adalah Injil Yesus Kristus. Karena itu, Luther sangat mengutamakan kitab-kitab yang berbicara tentang Kristus dan untuk Kristus, firman Allah yang sejati, adalah isi dari firman Allah yang tertulis dalam Alkitab.
Luther menggantikan metode alegoris dengan pendekatan sensus literalis (makna harfiah), grammaticus (tata bahasa) atau bistoricus (jalinan historis). Dalam menafsirkan Alkitab, ia menekankan hak pribadi untuk melakukan penilaian, pentingnya mempertimbangkan konteks dan jalinan historis teks Alkitab, pentingnya iman dan wawasan rohani dalam diri penafsir, serta keinginan untuk menemukan Kristus di manapun dalam Alkitab.
Di samping itu, Luther juga menganut prinsip Alkitab adalah penafsir terbaik atas dirinya sendiri. Sacra Scriptura sui interpres (Kitab Suci adalah penafsirnya sendiri). Artinya, bahwa tidak ada bagian Alkitab yang dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga konflik dengan apa yang dengan jelas diajarkan di bagian Alkitab yang lain.
Misalnya, jika suatu ayat tertentu memungkinkan adanya dua macanm penerjemahan atau penafsiran yang berlainan dan salah satu penafsiran itu berlawanan dengan bagian-bagian Alkitab yang lain, sedangkan penafsiran yang kedua itu cocok dengan keseluruhan makna Alkitab, maka penafsiran yang kedualah yang harus dipakai.
Penafsiran harus ditempatkan di samping Alkitab dengan cara yang tepat, karena pada dasarnya Alkitab itu memiliki kejelasan (claritas), memiliki kuasa menerangi. Makna istilah-istilah dalam Alkitab ditentukan oleh penggunaannya dalam Alkitab itu sendiri. Bagian-bagian yang gelap dapat diketahui maknanya dari bagian-bagian yang terang. Tiap bagian dalam Alkitab haruslah dipahami dalam terang keseluruhannya, dalam arti, diterangi dari pengertian tentang pesan inti Alkitab secara keseluruhan.
Luther juga menekankan pengalaman iman sebagai dasar yang penting untuk memahami Alkitab. Orang yang memahami Alkitab adalah orang yang telah bertemu Allah dalam Kristus, dan yang telah dibenarkan oleh anugerah Allah.
Prinsip itu bertumpu pada kepercayaan sebelumnya kepada Alkitab sebagai firman Allah yang diwahyukan. Karena itu Luther percaya bahwa Alkitab itu konsisten dan koheren (berkaitan). la beranggapan bahwa Allah tidak akan berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri. Interpretasi yang menyebabkan Alkitab bertentangan dengan dirinya sendiri, sesungguhnya sama dengan meng hujat Roh Kudus.
b. Melanchthon
Melanchthon adalah orang kepercayaan Luther yang memiliki pengetahuan luas dan sangat menguasai bahasa Yunani dan Ibrani, yang membuatnya menjadi seorang penafsir yang hebat. Metode penafsiran yang dianutnya adalah metode Luther. Namun, ia menambahkan prinsip:
- Sebelum dipahami secara teologis, Alkitab harus lebih dulu dipahami secara gramatikal
- Alkitab hanya memiliki makna tertentu yang sederhana.
c. Yohanes Calvin
Calvin adalah seorang penafsir besar. la membuat tafsiran yang sangat berharga untuk hampir seluruh kitab-kitab dalam Alkitab. Prinsip dasar penafsiran Luther dan Melanchthon diambil alih, tetapi ia tidak setuju dengan pendapat keduanya bahwa Kristus harus ditemukan dimana pun dalam seluruh Alkitab.
Calvin mengembangkan teori penafsirannya sendiri. la menilai metode alegoris sebagai alat setan untuk mengaburkan makna Alkitab. la menekankan bahwa Kitab Nabi-nabi harus ditafsirkan dalam terang jalinan historisnya.
Prinsip penafsiran yang harus dipegang adalah membiarkan penulis teks-teks Alkitab berbicara sebagaimana mereka berbicara dan bukan memasukkan pemikiran kita dałam perkataan mereka.
6. Hermeneutik Periode Modern
Dalam periode modern, ada beberapa tokoh yang berperan penting dalam menafsirkan Alkitab, diantaranya:
- Friedrich Schliermacher
- Wilhelm Dilthey
- Martin Heidegger
- Rudolf Bultmann
- Hans-George Gadamer
Sumber:
Buku Dasar-dasar Hermeneutik "Metode Penafsiran Alkitab yang Mudah dan Tepat", karya Kresbinol Labobar. Penerbit ANDI, 2017.